Zona Editorial

Papua Sudah Merdeka Sejak…

1367889057664842148Zona Damai: Salah satu faktor pemicu konflik Papua adalah adanya perbedaan interpretasi tentang sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI. Kelompok pendukung kemerdekaan Papua (pro-M) sering mempolemikan masalah sejarah integrasi dimaksud yang dibuat dan dikampanye sedemikian rupa untuk dijadikan dasar perlawanan terhadap Pemerintah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bagi kelompok pro-M, Integrasi Papua ke dalam NKRI adalah ilegal. Dalam versi mereka, integrasi sebetulnya tidak pernah ada, yang ada adalah aneksasi. Dasar argument mereka adalah adanya fakta sejarah bahwa pada 1 Desember 1961 telah dideklarasikan kemerdekaan Papua Barat oleh Dewan Nasional Papua Barat (Nieuw Guinea Raad). Dalam keadaa terdesak oleh berbagai tekanan dunia internasional, Belanda buru-buru melantik dewan ini pada 5 April 1961. Tugas utamanya adalah bertugas menyusun undang-undang dasar dan mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat sebagaimana telah dijanjikan Pemerintah Belanda.

Mereka lupa bahwa delapan bulan setelah deklarasi itu, Belanda justru terlibat dalam perundingan New York dan menandatangani New York Agreement pada 15 Agustus 1962 untuk menyerahkan kembali Irian Barat ke dalam pangkuan NKRI. Agar Belanda tidak kehilangan muka, teknis penyerahannya diatur tidak secara langsung dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia, tetapi melalui PBB. Maka dibentuklah suatu Badan Pelaksana Sementara PBB yang diberi nama United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Badan ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB. Dan 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkannya kepada Pemerintah Indonesia.

Apa yang dilakukan Belanda melalui UNTEA ini sebetulnya hanyalah pengulangan sejarah pengakuan kedaulatan wilayah NKRI. Karena jauh sebelum 1 Mei 1963, yaitu pada 27 Desember 1949 Belanda secara resmi telah menyerahkan KEDAULATAN atas seluruh wilayah jajahannya kepada Pemerintah Indonesia. Penyerahan itu dilakukan dalam dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohamad Hatta yang sekaligus sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda. Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.

Jalannya upacara penyerahan kedaulatan di Istana Negara Jakarta itu  Herman Burgers (85 tahun), pensiunan tentara Belanda dalam bukunya berjudul “De Garoeda en de Ooievaar” menuliskan kesaksiannya : Saya berada di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1949, ketika berlangsung upacara penyerahan kedaulatan itu. Tidak banyak yang saya lihat, karena sebagai militer, pada hari itu dan keesokan harinya, kami berada di dalam tangsi, tidak boleh keluar. Saya berada di dalam, tapi mengikuti semuanya melalui siaran radio.

Luar biasa. Itu adalah siaran radio yang panjang. Dimulai dengan upacara di Batavia, upacara penyerahan pemerintahan kepada Sultan Hamengku Buwono IX oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda Tony Lovink. Sesudah itu diperdengarkan upacara yang berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam. Di situ Ratu Juliana menyerahkan kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda kepada Mohamad Hatta, pemimpin delegasi Indonesia. Itulah yang kami dengar.

Ada satu saat yang selalu saya ingat, walaupun itu hanya saya ketahui melalui siaran radio, dan tidak melihatnya sendiri. Sesudah penandatanganan itu, Sultan Hamengku Buwono dan Tony Lovink keluar, berdiri di depan Istana. Di sana bendera Belanda diturunkan lalu, sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti. Tampaknya orang Indonesia juga menganggapnya sebagai saat yang dramatis. Mereka lalu diam. Suasana sunyi. Sesudah itu bendera Indonesia dikibarkan. Ada kecelakaan kecil, karena bendera itu sempat tertahan. Seorang prajurit Belanda membantu prajurit TNI membereskannya, lalu tibalah saat yang dinanti-nanti, sang saka merah putih berkibar. Dan ribuan orang bersorak-sorai. Itu saya dengar dari radio. Tapi saya juga mendengar sorakan aslinya, karena waktu itu saya tidak jauh dari Istana.

Yang kami dengarkan adalah siaran dalam bahasa Belanda. Yang masih saya ingat adalah, sebelum itu siarannya selalu diakhiri dengan kalimat “Anda telah mendengar siaran radio zaman peralihan.” Tetapi selesai upacara penyiarnya mengakhiri siaran dengan kalimat: “Demikian siaran Radio Republik Indonesia.” Saya kaget, mengapa begitu? Tapi saya segera sadar, sekarang sudah menjadi Radio Republik Indonesia. Batavia juga sudah menjadi Jakarta.http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/upacara-ketiga-dan-sumber-kedaulatan-indonesia

Korban interpretasi sesat

13678899271007047158Hampir semua fakta sejarah terkait kedaulatan NKRI atas Irian Barat selalu dibantah oleh kelompok Pro-M. Mereka memiliki interpretasi sendiri tentang status politik Tanah Papua. Akibat interpretasi “sesat” itu, telah membawa banyak musibah. Banyak tokoh Papua seperti Forkorus Yaboisembut dkk, pada tahun 2011 dalam forum Konferensi Rakyat Papua (KRP) ke-III di Jayapura nekat mendeklarasikan kembali berdirinya ‘Negara Papua Barat’ dengan nama ‘Negara Federal Republik Papua Barat’ (NFRPB). Akibatnya, para deklarator harus menjadi pesakitan atas tindak pidana makar yang dilakukannya, dan kini sedang menjalani masa hukuman di penjara. Negara manapun akan melakukan hal sama terhadap warga negaranya yang mengangkangi kedaulatannya.

Dialog Jakarta-Papua upaya meluruskan sejarah ?

Masih terkait soal interpretasi itu, ada kelompok yang mengupayakan cara lain yakni melalui dialog damai. Kelompok Jaringan Damai Papua (JDP) pimpinan Pastor Neles Tebay ini awalnya menggelar Konferensi Perdamaian Papua (KPP) pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Kampus Uncen, Jayapura. KPP itu kemudian menghasilkan rekomendasi “Dialog Jakarta-Papua” dengan dimediasi lima juru runding dari OPM yaitu Benny Wenda, Leonie Tanggahma, dan Octo Motte, Jhon Otto Ondowame dan Rex Rumakiek.

Melihat komposisi para juru runding itu, jelas tujuannya adalah menuntut Papua merdeka, karena track record para juru runding selama ini getol mengkampanyekan Papua merdeka di luar negeri. Lihat saja Benny Wenda misalnya, misinya hanya satu : Papua merdeka harga mati. Bahkan saat ini Benny sudah membuka kantor perwakilan OPM di Oxford. http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/06/gara-gara-benny-wenda-dubes-inggris-kecam-dewan-kota-oxford-557455.html

Maka wajar Pemerintah hingga kini tidak mengapresiasi rekomendasi KPP tentang Dialog Jakarta-Papua itu, karena hakekatnya sama saja dengan menuntut kemerdekaan. Embel-embel dialog hanyalah ‘pembungkus’. Sudah tepat Pemerintah sangat berhati-hati soal ini agar jangan sampai justru memfasilitasi masuknya kepentingan Negara asing ke Papua.

50 Tahun mempertahankan Papua dalam NKRI bukan pekerjaan gampang. Sudah banyak nyawa dikorbankan dan tak terbilang dana telah dikucurkan. Tetapi polemik integrasi masih terus menggelinding. Ada apa ini?

Bahwa masih ada “perlawanan” dari sejumlah tokoh, seperti Socratez Sofyan Yoman dan Benny Giay dari mimbar gereja, ada upaya bela diri dari Forkorus Yaboisembut dan Selphius Bobii dari balik jeruji, ada ancaman dari Goliath Tabuni dan Matias Wenda dari tengah hutan, ada kampanye hitam Benny Wenda, Leonie Tanggahma, dan Octo Motte, Jhon Otto Ondowame dan Rex Rumakiek dari persembunyian di negeri orang, itu semua adalah dinamika.

Pemerintah jangan berhenti berupaya untuk mensejahterakan orang Papua. Sudah ada kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan dana otsus selalu tersedia secara memadai. Tinggal mengelola dan terus membenahi.

Soal status politik Papua sebenarnya sudah selesai sejak Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 berdasarkan azas hukum internasional Uti Possedetis Juris : batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka. Konsekuensi logisnya, Irian Barat (West Papua) otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat proklamasi 17 Agustus 1945. Sedangkan 1 Mei 1963 adalah penggabungan kembali (integrasi) Papua ke dalam NKRI, karena sejak proklamasi kemerdekaan RI, Belanda enggan meninggalkan Papua.

Semoga kita tidak terjebak dalam polemik-polemik yang tidak jelas juntrungannya. [***]

Kanis Wk/Kompasiana

5 replies »

  1. Anda boleh berbicara sesuai cara berpikir/opini anda. Tapi apakah anda pernah melihat bibi anda diperkosa dan ibu anda di bunuh di depan mata anda oleh tentara dari bangsa yang anda banggakan ini ? So freedom is price die.! Biadab kau

    • Bicara tanpa bukti dan saksi sama dengan fitnah dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Ko tahu itu !

  2. Bicara tanpa bukti dan saksi sama dengan fitnah dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Ko tahu itu !

  3. Ha ha ha,,, “MAKANYA BELAJAR SEJARAH” agar anda tidak tertipu dengat Kebodohan Anda… Penulis perlu belajar Sejarah banyak krn Anda tidak tahu sejarah Kemerdekaan NKRI dan Proses Aneksasi/Integrasi Papua dalam NKRI…
    Ini, SEJARA INDONESIA.
    Pemerintah Pendudukan Militer Jepang membentuk Badan Persiapan Umum Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) awal tahun 1945 dibawah seorang komandan Tentara Jepang untuk memerdekakan Indonesia mengingat Jepang di ambang kekalahan dari Sekutu dlm Perang Dunia Kedua/PD2, maka akhir-akhir PD2, pd tgl 17 Agustus 1945 Indonesia deklarasikan Kemerdekaan dari Aceh sampai Ambon atas desakan Jepang dgn alasan “Sekutu akan menjajah Indonesia kembali”. Tetapi setelah Jepang kalah dan Sekutu menang maka seluruh wilah dikembalikan kepada Belanda dan tidak diakui kemerdekaan RI dgn alasan “sepihak dan bukan dr masyarakat Indonesia krn dibentuk dari Jepang” namun atas desakan asing pd thn 1958 diakui dengan batas wilayah Aceh hingga Amboina/Ambon-Maluku, bentuk negara Republik Serikat Indonesia bukan NKRI. Tidak termasuk Papua/Nederlands New Guinea karena Papua telah deklarasikan Kemerdekaan NEGARA PAPUA BARAT pada tanggal 1 Desember 1961 dan tahun 1970-an akan diserahkan sbagai bangsa Merdeka, Negara Papua Barat sesuai Piagam PBB 1945 tentan Dekolonisasi.
    Namun krn Kepentingan Ekonomi, Politik, dan Kekuasaan, presiden John F. Kednedy dr Amerika Serikat dan Soekarno Indonesia maka Amerika Serikat menekan dan mendesak Belanda melalui “Proposal Bungker” yang dirancangnya untuk serahkan ke Indonesiai, sekalipun isinya sangat merugikan Belanda dan Bangsa Papua Barat terancam, tetapi Belanda terpaksa menandatangani proposal bungker itu mjd Perjanjian New York 1962 diserahkan ke PBB dan 1 Mei 1963 ke Indonesia sbg wilayah perwakilan PBB
    dan Indonesia mengadakan Pepera 1969 dimenangkan dalam operasi militer Komando Trikora dan Mandala. Namun hasilnya menjadi Pepera menjadi perdebatan sengit dalam agenda pembahasan Hasil Pepera di Komperensi Tahunan PBB 1969, Negara2 kulit hitam yg tergabung dlm forum Braszille menolak karena Pelaksanaannya tidak sesuai Hukum Internasional/Piagam PBB 1945 dan Perangkat lain serta HAM, tetapi sesuai rancangan Perjanjian New York oleh AS yg sangat merugikan Papua, maka hasilnya tdk ratifikasi (take note) dan bersifat pembangunan dari pada status Politik. Maka Jika bangsa Papua meyakinkan negara2 anggota PBB maka bisa ditinjau kembali.
    >>sumber:Agus A.Alua (2003).IRIAN BARAT DARI PANGKUAN KE PANGKUAN. Suatu ikhtisar Kronologis. Seri I Pelajaran Politik.Pererbit STFT, Jayapura;
    Pigai…(2003) Evolusi Nasionalisme Bangsa dan Konflik Politik di Papua. Penerbit:GALANG Press, Yokyakarta.

    Oleh karena BODOHNYA INDONESIA
    MAKA KEBODOHAN MENIPU DIRIMU MENJADI NKRI… NKRI artinya:
    N= Negara Neraka
    K= Kolonial Kanibal
    R= Republik Rakus
    I= Indonesia Iblis

Leave a comment